Kamis, 19 Mei 2011

SASTRA PADA MASA ABBASIYAH

Dunia sastra dalam bentang sejarah Islam, khususnya pada masa awal menempati posisi sangat strategis, hal ini dilatari kondisi dimana islam lahir dan berkembang di tengah-tengah orang arab yang kaya akan tradisi sastra, bahkan sejarah peradaban arab pun kebanyakan hanya diketahui melalui sumber sastra seperti syair. Sedikit sekali sumber-sumber sejarah peradaban arab diidentifikasi oleh para ilmuwan melalui sumber-sumber tertulis seperti peradaban Mesir kuno dan Mesopetamia. Hal ini disebabkan  karena orang arab sangat konsen dengan bahasa lisan dari pada tulisan.
Ketika islam datang dengan pencerahannnya tradisi sastra tetap berlanjut. Posisi sastra dengan berbagai derivasinya[1] tidak mengalami pergeseran, karena pada prinsip dan substansinya sastra adalah produk yang bebas nilai. Maksudnya, dalam kondisi dan masa apapun sastra tetap bisa diterima tergantung pada aspek dan orientasi apa ditujukan penggunaanya.
Daulah Abbasiyah sebagai daulah kedua dalam sistem monarki[2] pemerintahan islam setelah Umawiyah tetap meletakan sastra dalam posisi terhormat. Sebagaiamana tabiat arab sebelum islam seringkali aktivitas sastra mempengaruhi pemerintah dalam kebijakan dalam negri maupun luar negrinya. Tidak sedikit para khalifah Abbasiyah adalah pecinta seni dan sastra sebut saja Abu Ja'far al Mansur, beliau adalah seorang khalifah yang memilki cita rasa seni tinggi di antara khalifah bani Abbasiyah[3].
A. Faktor perkembangan sastra
1. Politik
          Ketika Daulah Abasiyah naik ke tampuk kekuasaan tertinggi islam, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat dan pada porsi tertentu antara politik dan sastra saling mempengaruhi.
Pergeseran paling fundamental terjadi ketika pusat kekuasaaan dipindahkan dari Damaskus dengan tradisi arab kental ke Baghdad dengan tradisi Parsinya. Pada masa ini seluruh sistem pemerintahan dan kekuasaan politik dipengaruhi tabiat peradaban Sasaniyah Parsi dimana khalifah berkuasa mutlak dan memimpin seluruh struktur pemerintahan mulai dari mentri, pengadilan, sampai panglima prajurit.
          Pucuk kekuasaan pun tidak lagi terbatas pada garis keturunan arab, bahkan disebutkan dalam berbagai literatur sejarah bagimana dahsyatnya fitnah di saat terjadi persaingan kekuasaan antara dua bersaudara al Amien dan al Makmun karena berbeda garis keturunan dari ibu mereka. Kondisi politik seperti ini sangat mungkin memepengaruhi perkembangan aktivitas sastra ketika itu, karena kita tidak bisa nafikan para syu'ra adalah orang terdekat khalifah di lingkungan istana setelah menteri dan struktur pemerintah lainnya[4].  
2. Sosial masyarakat
          Di saat terjadi perpindahan kekuasaan dari Umawiyah ke Abbasiyah, wilayah geografis dunia islam membentang dari timur ke barat, meliputi Mesir, Sudan, Syam, Jazirah Arab, Iraq, Parsi sampai ke Cina. Kondisi ini mengantarkan terjadinya interaksi intensif penduduk setiap daerah dengan daerah lainnya. Interaksi ini memungkinkan proses asimilasi budaya dan peradaban setiap daerah. Para petualang muslim berdatangan dari berbagai penjuru wilayah islam dengan menyerap kebudayaan dan keilmuwan dari daerah yang mereka kunjungi untuk kemudian menjadi rujukan dan bahan aktivitas keilmuwan di daerah mereka masing-masing.
          Majelis nyanyian dan musik menjadi tren dan style kehidupan bangsawan dan pemuka istana era Abbasiyah. Anak-anak khalifah diberikan les khusus supaya pintar dan cakap dalam mendendangkan suara mereka. Maestro dunia tarik suara terkenal bermunculan pada masa ini diantaranya Ibrahim bin Mahdi, Ibrahim al Mosuly dan anaknya Ishaq. Lingkungan istana berubah dan dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari pakaian, makanan, dan hadirnya pelayan-pelayan wanita. Dalam sebuah riwayat disebutkan Harun ar-Rasyid memiliki seribu pelayan wanita di istananya dengan berbagai keahlian.
          Pengaruh budaya dengan nuansa jahiliyah seperti ini berkembang tidak di seluruh negri tapi hanya di lingkungan istana dan petinggi-petingi negara, adapun masyarakat umum berada dalam beragam kondisi perubahan sosial, bahkan dari kelas masyarakat umum muncul gerakan menentang perilaku dan tradisi jahili yang berkembang di lingkungan istana dikenal dengan nama "Harakah az Zuhd".
3. Dunia intelektual dan pengetahuan
          Faktor lain berkembangnya peradaban di era Abbasiyah ditandai dengan derasnya aktivitas intelektual masyarakat islam. Kegiatan intelektual menjadi makanan rutin Akal dan hati masyarakat. Kondisi ini dipengaruhi terbukanya pintu intelektual islam dengan masyarakat dunia lainnya. Kerajaan sangat bersemangat dalam menyokong semua aktivitas penterjemahan literatur asing ke Bahasa Arab, seperti yang dikatakan al Mas'udi," Abu Ja'far al Mansur adalah khalifah pertama menggiatkan aktivitas astronomi dan menetapkan kegiatan kerja kerajaan mengacu pada hukum-hukum astronomi. Abu Ja'far al Mansur juga khlaifah pertama yang menerjemahkan literatur asing ke bahasa arab diantaranya karya-karya Aristoteles, buku Sanad India dan berbagai literatur lainnya.
          Darul Hikmah di masa harun ar Rasyid telah menjadi pustaka dunia dengan menyimpan beribu-ribu literatur asing Romawi, Yunani, Parsi dan India kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa arab. Kemajuan ini diikuti dengan lahirnya ribuan Ulama dan sastrawan. Baghdad berubah menjadi mercusuar peradaban dan tujuan cendikiawan dan pencari ilmu dari seluruh pelosok negri. Kita kenal Khalil bin Ahmad al Farahidy sebagai peletak pertama Mu'jam Lughawy dengan kitabnya al 'Ain. Dalam ilmu Fiqh, lahir Abu Hanifah, Malik bin Anas, as Syafii, dan Ahmad bin Hanbal.  Dalam kajian sejarah, Ibnu Sa'd dengan karyanya at Tabaqat al Qubra, Akhbar al Khulafa'.      
Diantara Syu'ara' (para penyair) terkenal yang dilahirkan dari rahim peradaban besar ketika itu diantaranya Basyar bin Bard, Abu Nawas, Marwan bin Abi Hafshah, Abu 'Atahiyah, Muslim bin Walid, Abdullah bin Marwan bin Zaidah, Muhammad bin Hazim al Bahily dan ribuan sastrawan lainnya.
Lingkungan sosial dan intelektual dinamis dalam peradaban dan khazanah keilmuwan islam telah mengantarkan perkembangan pesat dalam dunia sastra, tidak saja Syair yang menjadi konsen aktivitas sastra namun juga seni retorika dalam pidato kenegaraan maupun khutbah Jumat. Pendeknya semua aktivitas intelektual mendapatkan posisi strategis dan berkembang sangat baik dan dinamis pada masa itu.
B.  Macam-macam syair dan Tujuan-tujuan nya pada masa Abbasiyah
Faktor politik, sosial dan arus intelektualisme yang tumbuh dan berkembang pesat sudah tentu mempengaruhi aspek-aspek penting dalam kehidupan sastra masa itu. Khusus dalam Syair, setidaknya dikenal dalam literatur Adab Abasiyah bermacam-macam agraad (tujuan/orientasi) syair, seperti al Madah (pujian)[5], at tasawuf, al Hija' (sindiran),  al Ghazal (rayuan), dan Syair al tahakam dan ‘abts (ejekan dan senda gurau).
1.    Syair al-madah (pujian)
Bentuk syair semacam ini sangat berkembang pada masa ini. Syair ini biasanya digunakan untuk memuji khalifah mereka, dengan tujuan agar diberi imbalan atau hadiah dari sang khalifah. Pujian yang biasanya diungkapkan adalah tentang kemuliaan, ketaqwaan, kepemimpinan, dan kondisi pemerintahan sang khalifah. Contoh syair al-madah  yang diungkapkan Al-bukhtari kepada Al-mutawakil [6]:
خلق الله جعفرا قيّم الدين رشدا              
أطهر العدل مااستنارت به الأرض رغم البلاد غورا أو نجدا
“Allah telah menciptakan Ja’far sebagai wali dunia dan agama yang benar serta memberi              petunjuk.
 Memberi keadilan yang paling cemerlang serta menyinari dunia sekalipun negara-nagara berada dalam lembah atau ketakutan” 

2.    Syair Tasawuf
Orang-orang Abasiyah memahami menggunakan syair ini untuk menggambarkan konsep tentang ketuhanan. Ada beberapa poin diantaranya:
a.       Konsepsi cinta ketuhanan,
b.      Konsepsi pengingkaran dzat Tuhan,
c.       Berpegang pada hati dan terbukanya hijab dan teori penyatuan atau peleburan (Wahdatul Wujud, penyatuan antara Tuhan dan mahluk)
Contoh syair tasawuf yang pernah dikatakan Al-halaj[7]:
                        مزجت روحك في روحي كما تمزج الخمرة بالماء الزلال
                                                          فإذا امسّك شيء مسني فإذا أنت أنافي كل حال
"RuhMu berpadu dengan ruhku                 
Laksana perpadunya khamar dan air tawar
Tatkala ada yang menyentuhMu
Berarti dia telah menyentuhku
Maka Engkau adalah saya dalam setiap keadaan”  

3.    Syair hija’(sindiran)
Syair ini digunakan dengn maksud menyindir atau celaan. Syair hija’ ini tetap ada sampai masa sekarang. Contoh syair hija’ yang diungkapkan Abdullah bin qasim[8]:
أمّا الصحيح فإن اصلك فاسد
                                                                   وجزاك منا ذابل و مهند
“meskipun benar maka sungguh asalmu adalah perusak
Dan balasanmu adalah  orang yang lemah dan orang yang berteriak

4.     Syair ghazal (rayuan)
Syair ini digunakan penyair untuk merayu wnita dengan menggunakan bahasa persusif yang sangat tinggi. Contoh syair ghazal yang diungkapkan Basyar bin bardi [9]:
ياليلتي تزداد نكرا من حبّ من احببت بكرا
                                                حوراء ان نظرت اليك سقتطك بالعينين فخرا
“wahai malamku yang bertambah cerdik dari cinta orang yang engkau cintai dalam kesucian
Orang yang bermata cantik melihatmu menyiramimu dengan kedua matanya dalam kebanggaan”



5.     Syair al tahakam dan ‘abts (ejekan dan senda gurau)
Bertujuan untuk mengejek atau mengajak bergurau.  Contoh sya’ir al tahakam dan ‘abts  yang diungkapkan oleh Shari’ Al-dalai[10]:
من طبغ الديك ولايذبحه طار من القدر الى حيث يشاء
“siapa yang memasak ayam jantan dan tidak menyembelihnya maka ia akan terbang kemana saja ia mau”
Dari beberapa tujuan dan macam syair diatas, ada pula syair al Wasfy (pensifatan), az Zuhd (zuhud), al 'Itab wa al 'Itizar (teguran dan pembelaan), as Syi'ry al Ta'limy (sya'ir pengajaran), as Syi'ry al Fakahy (sya'ir humor). Pengaruh kebudayaan asing yang hadir dan masuk dalam sastra arab diantaranya buku al Maydan karya Ulan as Sya'uby al Faris, sebuah karya sastra hasil asimilasi dua peradaban besar Arab dan parsi.

1 komentar:

  1. assalamu'alaikum..
    boleh tanya? ini ada referensi bukunya apa ndak? kalau ada bisa diberitahu judul bukunya atau nama penulis bukunya?
    terimakasih

    BalasHapus